Beberapa waktu terakhir saya bertemu dan bergaul dengan banyak orang baru, berbagai karakter, instansi, latar belakang dan keahlian yang berbeda. Jika sebelumnya saya dipertemukan dengan orang-orang berbeda negara, meski masih sesama Asia, kali ini saya dipertemukan dengan sesama orang Indonesia namun ternyata tak kalah berwarna. Meski hanya beberapa suku (Jawa, Padang, Batak, Palembang, Riau) namun saya menyadari betapa sulitnya mengelola bangsa kita tanpa adanya toleransi dan kedewasaan.
Satu saja orang yang berbeda sudut pandang atau sedikit keras kepala bisa merusak keharmonisan dan kenyamanan. Yah, saya baru menyadari ternyata masih ada orang-orang yang meminta dipahami, bukan mencoba memahami. Yang meminta dihormati, bukan berusaha menghargai apa yang sudah dilakukan teman yang lain. Yang sensitif terhadap kritik atau masukan, dan berbagai hal lain lagi.
Meski dari sudut pekerjaan, saya merasa senasib dengan peserta lain sesama perencana, yang sebagian besar berkutat dengan pekerjaan tak terencana, perubahan anggaran sepanjang tahun, kebijakan pimpinan yang berubah-ubah, dsb. Kebersamaan selama tujuh minggu membuat saya belajar banyak hal, terutama kedewasaan ini. Memang benar sebuah istilah , tua itu pasti dewasa itu pilihan. Ada yang secara usia masih muda, namun saya belajar bijak darinya, meski saya juga tetapbelajar dewasa pada yang lebih senior.
Yang paling mudah saya tangkap tentang kedewasaan seseorang adalah bagaimana seseorang itu memperlakukan orang laindan bagaimana ia berbicara. Seseorang yang benar-benar dewasa akan matang dalam bertindak, berpikir betul bagaimana bersikap pada orang-orang disekitarnya dan berpikir betul apa yang hendak ia sampaikan.
Bahasa kasarnya gini
“Elu emang pinter tapi sikap sok pintermu itu bisa ngejerumusin dirimu sendiri”.
Karena kita hidup dalam dunia sosial dimana “attitude”nentuin masa depanmu dan posisi strategismu nanti di masyarakat.
Sorry gambar gak nyambung, tapi Aceh emang keren! |
Sedihnya kemarin sempet ada twit war yang saya ikutin, ngomongin masalah “bibit unggul”. Intinya ada seorang mahasiswa dapat beasiswa LN ngritik seorang profesional dengan cara yang gak sopan, trus ketika diingetin tentang attitude ini dia malah ngebanggain dirinya yang bibit unggul trus dapet beasiswa ke Jepang. Yang bikin sedih adalah rombongan anti kritik yang ngebelain nih anak.
Seriously?
Sudah separah itukah generasi sekarang? Begitu sombongnya. Saya akui anak jaman sekarang emang pinter, penuh inovasi, lancar cas cis cus bahasa asing, ke luar negeri udah bolak-balik kaya ke Tanah Abang aja. Tapi, ayolah, yang namanya pendidikan karakter penting banget Sodara!
Saat Training, salah seorang fasilitator (dosen) sempat cerita bagaimana Jepang sangat brilian dalam pendidikan karakter. Contohnya bagaimana hormatnya pada senior dididik dari usia dini dengan mengajarkan anak pada usia TK untuk selalu melapor pada ketua kelasnya, apakah ia sakit, memerlukan sesuatu dsb.
Dan terbawa saat dewasa , bagaimana saat seorang profesor muda ditanya tentang suatu hal oleh dosen saya, ia tidak memberikan jawaban meski ia tahu jawabannya. Karena si profesor muda tahu dosen saya akan bertemu dengan profesor yang lebih senior, Ia mengarahkan dosen saya untuk bertanya pada seniornya dulu dan mendapat jawaban dari profesor senior tersebut. Laah kalo di kita? Pasti show off kemana-mana, gak ditanya juga ngejawab haha.
Sebegitunya ia menghargai seniornya. Karena di Jepang, jika sekali kamu mendapat persepsi yang kurang baik dari seniormu, tamatlah karirmu. Rekomendasi yang buruk dari senior atau profesormu bisa mematikan karirmu seumur hidup.
Yah, kita memang masih harus banyak belajar. Indeks HDI (Human Development Index) kita masih rendah, kalah dari Thailand, Singapura, Vietnam, bahkan Maldives. Padahal jika dilihat orang pintar di Indonesia banyak, trus?
Entahlah mungkin orang-orang pintar itu masih terlalu egois untuk menerima masukan dari orang lain.
Sekian curhat saya, sampai jumpa di bulan Oktober!
Wassalam!
No comments:
Post a Comment