Terakhir
ke Jogja sekitar setahun yang lalu, dan kali ini dapet kesempatan lagi ke Jogja
karena ada kerjaan juga, tapi karena acara full empat hari jadi harus pinter nyuri
waktu pas break, atau pagi-pagi banget dan setelah acara bubar malem harinya.
Taman Sari
Tempat ini
merupakan komplek istana air di sekitar keraton Jogja. Menurut sejarahnya
dibangun sebagai penghormatan kepada
istri-istri Sultan Hamengku Buwono I karena telah membantu selama masa
peperangan. Dibangun sekitar 500 meter di selatan keraton oleh arsitektur
berkebangsaan Portugis, Demak Tegis, dan Bupati Madiun sebagai mandor.
Tiket
masuk seharga lima ribu rupiah per orang termasuk sangat murah, sebagai
tambahan kita bisa meminta bantuan pemandu lokal untuk menjelaskan seluk beluk
dan sejarah di setiap sudut Taman Sari.
|
Kolam yang dulunya tempat pemandian |
Saya
berdua mbak Wida, teman kantor, memilih berjalan sendiri memasuki komplek
Gapura Panggung, area pertama dari pintu masuk. Area yang dikelilingi kolam yang
dulu dijadikan pemandian dan hanya boleh dimasuki oleh Sultan dan keluarganya.
Di tempat ini kami bertemu rombongan wisatawan yang dari logatnya kami tahu
dari Malaysia, seorang pemandu menjelaskan sejarah Taman Sari dengan logat
melayu, dan kami diam-diam ikut mendengarkan, haha. Turis Malaysia semakin sering
di temui saat ini, pun saat di Bandung kemarin, ketemu rombongan orang Malaysia
di Farmhouse. Malah dapet cerita dari mbak Wida yang memang urang Bandung kalau
di Pasar Baru banyak orang Malaysia yang membeli dagangan grosir dan bahkan
untuk transaksi para pedagang menyediakan mata uang ringgit. Apalagi sudah
tersedia penerbangan langsung dari Malaysia-Bandung. Wah baru sadar era
perdagangan bebas sudah di depan mata.
Kembali ke
Taman Sari, selain Gapura Agung tempat yang bisa dikunjungi adalah Sumur Gumuling
dan Gedung Kenongo. Sumur Gumuling dahulu merupakan masjid bawah tanah, yang
memiliki filosofi menarik, yakni hanya dari satu pintu masuk menuju Sumur
Gumuling yang melambangkan bahwa manusia tercipta dari tanah dan akan kembali
ke tanah.
|
Menuju Sumur Gumuling |
Masuk
menuju sumur Gumuling kita harus menuruni tangga dan melalui lorong panjang
bawah tanah. Dan jaman dulu tak butuh pengeras suara, sebab atapnya yang bulat
menciptakan gema sehingga suara imam tetap bisa terdengar. Masjid terbagi
menjadi dua lantai, bawah untuk jamaah perempuan dan atas untuk jamaah
laki-laki. Empat tangga mengarah ke pelataran kecil dan satu tangga lain
mengarah ke lantai dua. Kelima tangga merupakan symbol dari rukun Islam, dan
satu tangga naik ke lantai atas mewakili rukun Islam ke lima, naik haji bagi
yang mampu.
|
lorong bawah tanah |
|
di bawah 5 tangga, dulu dipakai untuk tempat wudhu |
|
Disponsori oleh Kirana Stuff, haha |
|
Lima Tangga Simbol Rukun Islam |
Tempat ini
merupakan spot paling ramai buat narsis sampai pre wed shot, sehingga harus gantian,
sempet malu juga karena si ibu pemandu semangat banget ngambil foto kita
berdua, kitanya udah ga enak diliatin orang-orang, si ibunya malah cuek aja,
haha.
Keluar
dari Sumur Gumuling, kami kembali melewati lorong panjang, dan ceritanya lorong
ini sebenarnya panjang sampai tembus ke daerah Pantai Selatan Jawa
(parangtritis), namun sekarang jalan tembus itu sudah ditutup. Begitu ceritanya.
|
Lorong di lantai 2 |
Ke tempat
selanjutnya, yakni Gedhong Kenongo, tempat tertinggi di kompleks Taman Sari,
kita harus menaiki tangga yang lumayan tinggi menuju kesana. Tempat ini
mengalami beberapa kerusakan akibat gempa yang melanda Yogya di tahun 1867 dan
2006 lalu. Beberapa tak bisa diperbaiki karena akses ke dalam kompleks yang
sudah penuh dengan pemukiman abdi dalem sehingga tidak memungkinkan alat berat
untuk masuk. Di siang hari tempat ini disebut pantai rumah karena semilir angin
yang sejuk dan pemandangan atap rumah di sekelilingnya.
|
mataharinya masih oke |
|
shining banget kan |
|
pantai rumah |
|
berasa dimana gitu |
|
melalui rumah-rumah abdi dalem |
Keraton
Dari komplek
Taman Sari kami naik becak dan bayar 20 ribu menuju keraton, istana yang masih
berfungsi sebagai tempat tinggal Raja dan keluarganya. Tiket masuk seharga 5
ribu rupiah per orang , ada ada tambahan jika membawa kamera.
|
pelataran luas dan banyak pohon sawo |
|
dari museum satu ke museum lain |
|
Sugeng Rawuh |
Melangkah
masuk melalui gerbang besar akan terlihat sebuah pendopo besar yang bernama
Bangsal Sri Manganti. Setiap harinya dilangsungkan pertunjukan seni yang bisa
ditonton gratis, mulai dari tari tradisional, nembang macapatan, gamelan dan
wayang.
Di dalam
kompleks Keraton terdapat beberapa museum dan ruang penyimpanan benda-benda
bersejarah milik raja dan keluarga. Yang suka pergi ke museum dan penyuka
sejarah pasti asik mengamati satu persatu koleksinya dan gak cukup satu hari
untuk berkeliling dari satu ruang ke ruang lain. Dari museum batik, koleksi
lukisan, foto, keramik sampai peralatan dapur istana.
|
ornamen unik di tiang pendopo |
|
buatan Jerman euy |
|
Biyung Emban punya batik sendiri |
|
Museum Batik |
Kompleks
keraton terbagi menjadi dua bagian, yang bisa dikunjungi wisatawan, dan bagian
yang tertutup karena menjadi pusat kegiatan keluarga kerajaan, antara lain
Gedhong Jene (menyambut tamu kerajaan), Gedhong Purworetno (ruang kerja Sultan
sebagai Raja Yogyakarta), Bangsal Kencana, Bangsal Trajumas, serta Kaputren.
Saat
berkeliling saya menyadari bahwa yang paling menonjol dari periode pemerintahan
adalah pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Karena pada masa ini Yogyakarta
memiliki peran penting dalam masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sang Raja
juga menjadi wakil presiden RI pada masa tersebut.
|
Sultan HB IX saat muda |
Dan yang
paling menarik adalah kebanggaan beliau sebagai orang Jawa yang tertulis dalam
risalah penobatan yang diabadikan dalam sebuah plakat di salah satu museum. Ya,
karena saya juga orang Jawa tentu saja.
|
Saya adalah dan tetap orang Jawa |
|
Silsilah yang unik |
|
bisa buat isnpirasi |
Mangut
Lele
Mbak Wida semangat
banget mengajak saya ke Mangut Lele Mah Marto, menurut ceritanya saking
enangknya itu lele, enaknya masih berasa sampe sekarang, wiiihh makin penasaran
kan jadinya.
Naik GoCar
kami menuju mangut lele legendaris di daerah selatan pusat Kota Yogya, searah
dengan kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta di daerah Sewon, Bantul.
Warungnya terletak sedikit mblusuk di gang kecil dan memang rumah kediaman mbah
Marto, jadi memang berasa main ke tempat saudara, numpang makan, masuk ke dapur
atau pawonnya dan ngambi sendiri makannya. Pawonnya bener-bener pake kayu
bakar, asep dimana-mana, dan kita ngambil nasi pake piring sederhana, milih
lauk dari bale-bale bambu yang di atasnya tersedia berbagai macam pilihan lauk
dan sayur. Ga cuma mangut lele, ada gudeg, sayur daun papaya, sayur rebung, brongkos,
opor, tempe dll. Jadi emang berasa makan di tempat nenek kita sendiri.
|
yang ngidam Mangut lele |
|
Porsi kalap kebanyakan ngambil sayur |
|
tapi itu bukan Mbah Marto yaa |
|
Pilih dan ambil sendiri |
Kita bisa
makan di ruang tamu atau tengah yang memang disediakan kursi-kursi panjang dan
meja, nambah sepuasnya trus baru bayar. Mbah marto nya sendiri masih terlihat
sehat, bahkan masih ikut ngasih kembalian kalau ada yang bayar. Buat yang
pertama kali kesini, saya sarankan nyobain mangut lele nya dulu, tanpa sayur
apa pun, biar ngga ngerusak rasa, karena saya termasuk yang gagal, rasa
mangutnya keganggu sayur rebung yg saya ambil kebanyakan. Sayang memang.
Dari mangut
lele, kalau kalian pengen ngerasain sate klatak, lokasinya relative lebih
dekat, jadi bisa sekalian, kalau saya karena waktu yang mepet jadi belum sempat
ngerasain sate klatak ini, semoga lain waktu bisa kesampaian.
lanjut ke part 2
No comments:
Post a Comment