Tujuh belas hari sudah dan rasa ini tak kunjung pergi. Setelah sekian hari akhirnya saya mampu menatap layar laptop tanpa air menggenang di pelupuk mata. Setelah mau tidak mau bersua lagi dengan pekerjaan tanpa berderai air mata. Kehilangan ini terasa menyakitkan dari apapun. Kehilangan sosok terbaik yang mengantarkan ke dunia. Sosok terbaik sumber energi dan segala doa yang tak pernah putus. Kini tiba waktunya ia kembali kepada-Nya, ke tempat terbaik di sisi Allah Sang Penguasa Segala.
Bukan, ini bukan musibah, ini ketentuan dari-Nya yang menjadi sebuah kepastian.
Bukan, ini bukan musibah, ini ketentuan dari-Nya yang menjadi sebuah kepastian.
Ya Rabb maafkan diri yang masih lemah, jika hamba minta dihindarkan dari ujian, bukan meminta
untuk dikuatkan dalam menghadapinya.
Ampuni hamba jika
masih saja mohon dimudahkan bukan memohon untuk dikokohkan jiwa raga untuk
bangkit dan berdiri.
Tidak.
Saya tidak sedang ingin
berbagi kesedihan. Tak ada seorang pun yang mau dibagi kesedihan bukan? Karena
sedih tak bernama, tak ada yang mau memanggilnya. Tak ada pula yang
mengharapkan kehadirannya. Sedekat apapun seseorang itu tak ada yang mampu
merasakan kehilangan ini selain aku dan keluargaku. Bagi yang pernah kehilangan
sosok tercinta dalam hidupnya pasti bisa merasakan. Kehilangan ini tak bisa
dibagi. Mungkin saat ini kau bisa berderai air mata bersamaku, namun esok lusa
kau bisa lupa dan tertawa bahagia. Dan saya tak berhak kecewa.
Seperti yang saya sampaikan tadi, saya tidak sedang ingin berbagi duka. Karena saya sebenarnya
lelah jika kautanya,
mengapa?
Bagaimana ia tiada?
Kok bisa?
mengapa?
Bagaimana ia tiada?
Kok bisa?
Biarlah itu
menjadi hal yang tak wajib ditanyakan. Saya hanya ingin berbagi bagaimana ia
hidup dan mengajarkan tentang hidup. Dan saya harap setelah kau baca tulisan
ini, bisa membuatmu menghargai waktu dengan keluargamu, memeluk erat ibundamu
dan menghentikan keluh kesahmu.
Ibu
Sebuah kata yang
kueja saat pertama mengenal kata, mengenal rupa dan warna. Dan sungguh tak percaya ia
pergi tanpa sempat kusampaikan maaf dengan layak. Maaf karena jarak dan waktu
yang tak berpihak atau karena keegoisan diriku yang sangat.
Ia mengajarkanku
tentang ikhlas,
Tak perlu
diucapkan tak perlu dibicarakan, namun ikhlas juga bukan pasrah, ia adalah sebuah
harapan untuk kebahagiaan selanjutnya. Ia adalah jaminan untuk jalan keluar
masalahmu. Itu pesanmu.
Ia mengajarkanku
tentang tekun,
Allah yang melihat
usahamu, prosesmu. Apa pun hasilnya setiap proses itu bernilai dan bahkan
berpahala. Ibuku seorang guru yang selepas isya tak terlewat menyusun bahan
ajar atau laporan harian atau apa pun aku tak tahu. Namun di pagi hari masih
sempat memasak. Dan itu membuatku bangga saat temanku iri karena selalu
sarapan gorengan atau nasi rames
keliling bukan masakan ibunya.
Ibuku yang merasa
tak pandai mengaji, baru menghafal satu demi satu huruf hijaiyah saat anaknya
sudah lancar membaca Al-Quran. Namun kemudian jauuuh lebih sering khatam daripada
anak-anaknya, karena tak pernah terlewat tadarus setiap hari sekaligus menelusuri artinya.
Ia mengajarkanku
tentang sabar,
Sabar menghadapiku
yang selalu menggerutu, atau tak mau jika disuruh ini itu. Hatimu mungkin
lelah, sakit dan tak berdaya karena manusia, namun ada sebaik-baik pemberi
karunia atas kesabaranmu. Yang memberi kejutan dari arah yang tak
disangka-sangka. Tak perlu risau, sabar dan syukur itu kunci bahagia.
Ia mengajarkanku
tentang pengabdian,
Pengabdian terhadap
suami, keluarga, masyarakat dan bangsa. Tak ada waktu untuk sinetron atau
televisi, apalagi gossip dan artis masa kini. Ia lebih suka mendengarkan
pengajian di RRI ba’da subuh. Dhuha tak terlewat, tidur
awal dan bangun sebelum fajar untuk shalat malam. Ia yang selama setahun
setelah pensiun, masih bersepeda ke sekolah, untuk sekedar membantu atau mengisi
waktu, katamu. Atau menyuruhku menyapu dan membersihkan mushola untuk pengajian
ibu-ibu tiap sabtu.
Ia mengajarkanku
bagaimana berbagi,
Sesulit apa pun
kondisimu, ada hak bagi sesamamu. Semakin banyak kau berikan, semakin banyak
kau terima. Jenguk keluarga atau teman yang sakit, jalin silaturahmi, jaga
hubungan baik dengan tetangga, berniaga dengan santun dan tulus. Karena kita
tak tahu dari arah mana dan dari siapa pertolongan itu datang.
Masih banyak hal
baik yang belum tersampaikan.
Namun, tak lupa saya haturkan terima kasih atas segala doa, bantuan materi, tenaga, waktu dan segala upaya yang diberikan.
Jazakumullah Khairan Katsir…
Sungguh sangat bermakna.
Saudara-saudara jauh yang berkenan hadir, teman SMP, teman kuliah, bahkan rekan kerja yang begitu sigap bisa hadir saat pemakaman, Murabbi dari Jakarta, sampai dua atasan saya, yang menyempatkan datang ke rumah di malam ke-3 setelah berjam-jam menyetir dari Jakarta. Sungguh, saya tidak menyangka perhatian yang sangat dari orang-orang di sekeliling. Baru saya sadari, ternyata saya berada dalam lingkungan yang tepat, bersama orang-orang yang tepat. Dan saya sangat bersyukur.
Namun, tak lupa saya haturkan terima kasih atas segala doa, bantuan materi, tenaga, waktu dan segala upaya yang diberikan.
Jazakumullah Khairan Katsir…
Sungguh sangat bermakna.
Saudara-saudara jauh yang berkenan hadir, teman SMP, teman kuliah, bahkan rekan kerja yang begitu sigap bisa hadir saat pemakaman, Murabbi dari Jakarta, sampai dua atasan saya, yang menyempatkan datang ke rumah di malam ke-3 setelah berjam-jam menyetir dari Jakarta. Sungguh, saya tidak menyangka perhatian yang sangat dari orang-orang di sekeliling. Baru saya sadari, ternyata saya berada dalam lingkungan yang tepat, bersama orang-orang yang tepat. Dan saya sangat bersyukur.
Juga permohonan
maaf yang setulusnya, jika ada banyak hal yang kurang berkenan, sikap atau kata
yang menyakitkan, mohon maaf sedalam-dalamnya.
Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa
rabbayaanii shoghiiron…
Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa’aafihaa,
wa’fu anhaa…’
Aamiin Ya Rabbal Alamin…
No comments:
Post a Comment