Dari sekian banyak tema, saya merasa ini yang paling banyak menyita pikiran. Keresahan, gelisah, ragu untuk menuangkan dalam sebuah tulisan. Ya, saya menahan diri beberapa minggu untuk tidak menulisnya. Saya memilih mem-publish tulisan ringan tentang healthy life, hobi atau pun Korea. Pertama, karena posisi pekerjaan sebagai abdi negara, kedua, karena hal ini a-mat-sa-ngat sensitif, dan ketiga, karena saya masih berharap hiruk pikuk tentang Pilkada selesai setelah Pemimpin baru resmi terpilih. Jakarta akan kembali seperti biasa.
Ternyata dugaan saya salah. Jakarta dan
beberapa kota di Indonesia justru semakin riuh. Jangan ditanya bagaimana sosial
media kita. Setelah vonis pada Basuki Tjahaya Purnama dijatuhkan, bermunculan
orang-orang yang merasa tak ada lagi keadilan di negeri ini. Setelah sebelumnya
mereka menuntut pihak yang berseberangan untuk mematuhi proses hukum yang
berlaku, kini setelah proses hukum selesai dan vonis dijatuhkan, justru
orang-orang inilah yang memberikan justifikasi ketidakadilan terjadi dalam
proses persidangan. Lalu harus bagaimana? Setelah deretan karangan bunga dan
beribu-ribu balon di balai kota (jujur saya takjub, karena saya setiap hari
melewatinya), kini bermunculan aksi sejuta lilin dan aksi solidaritas pendukung
Ahok, bahkan dukungan dari PBB atau negara lain ikut diakui sebagai dukungan
penangguhan hukuman.
Keresahan yang saya alami saya rasakan
juga dalam tulisan Fahd Pahdepie. Rasa gemas dan muak melihat dua kubu yang
terus menerus berselisih. Tak sadarkah mereka membuat kami yang selama ini
menahan diri lama kelamaan juga tak tahan untuk berteriak. Saya sepakat dengan
salah satu paragraf dalam tulisan Fahd :
Ahok adalah aktor politik. Ia
dikalahkan dalam sebuah pertarungan politik, oleh aktor-aktor politik yang
kebetulan menjadi lawannya saja. Dan kita semua? Kita semua hanyalah figuran
dan pendukung yang disulut emosinya, diobrak abrik kesadarannya, diadudombakan,
dibentur-benturkan psikologi dan mentalnya, untuk kepentingan politik lainnya...Yang
direkayasa oleh aktor-aktor politik lainnya. Jika kita ingin keluar dari
lingkaran setan politik ini : Sudahlah, tak usah ramaikan panggung sandiwara
yang memuakkan ini. Tak usah membentuk solidaritas apapun. Tak usah
‘overacting’.
Berhentilah berdebat, berhentilah
berselisih, berhentilah merasa paling benar. Semua ini menguras energi yang
saya pikir sia-sia. Jikalau Ahok divonis bebas, lalu mau apa? Pemimpin Jakarta
sudah resmi terpilih. Justru gelombang protes yang akan muncul jauh lebih besar
lagi. Jangan lagi menuduh para hakim yang menjatuhkan vonis gila jabatan. Atau
bahkan keluarganya ikut dicaci maki. Ini menyedihkan. Miris. Inikah Indonesia
kita sekarang, Kawan? Penuh prasangka dan nyinyir tanpa henti? Merasa benar
yang tak berkesudahan?
Kebhinekaan dan keberagaman menjadi
kata yang begitu populer akhir-akhir ini. Semua orang membicarakannya, sibuk
membicarakannya. Populer karena dijadikan jargon, dijadikan komoditas unggulan
untuk meraih simpati. Jakarta sebagai representasi keberagaman di Indonesia
menjadi sorotan banyak pihak. Awalnya saya senang, karena saat Pilkada rasa
Pilpres ini berlangsung banyak kalangan yang ikut berpartisipasi. Dalam hal ini
rakyat Indonesia (tak hanya warga Jakarta) semakin melek politik. Tak lagi apatis dan golput. Semua orang berhak
dan bebas, tak lagi ragu menyuarakan aspirasi dan dukungannya. Namun ternyata
kita tidak sepenuhnya siap. Siap kalah, siap legowo, siap menghormati segala
proses dan aturan yang berlaku.
Bicara tentang keberagaman, Jakarta
memang wujud kecil Indonesia kita. Berbagai etnis, suku, bahkan bangsa berbaur
di sini. Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, sekaligus pusat
perekonomian. Semua pihak merasa punya kepentingan disini, dan bahkan
memprediksi hasil Pilkada DKI menentukan Indonesia 2019 nanti. Mungkin naif
jika saya mengabaikan segala komen yang beredar sekarang. Semua orang berhak berpendapat, berbicara apa pun. Tapi
cukup sudah kalian mengatasnamakan keadilan, mengatasnamakan suara-suara yang
tertindas. Kapan terakhir kali berpartisipasi di lingkungan masyarakat kalian?
Kapan terakhir kali berbincang hangat dengan para tetangga? Apa yang sudah
kalian berikan sebelum keriuhan Pilkada kemarin?
Contoh kecil saya dan teman-teman
pengajian saya rutin setiap 2-3 bulan sekali, memberikan pelayanan kesehatan di
sebuah kampung di gang sempit Jakarta.
Sederhana saja tes gula darah, kolesterol dan asam urat. Menggunakan uang kas
mingguan kami. Bukan atas nama siapapun. Dan sudah mulai kami lakukan jauh
sebelum Pilkada digelar. Mungkin kecil, tapi dari sini kami bisa sedikit
berbagi, bercerita bagaimana menjaga kesehatan kita dengan cara yang sederhana.
Para ibu dari berbagai usia sangat antusias menyambut kegiatan rutin kami.
Perhatian sederhana seperti ini yang mungkin bisa menghibur warga Jakarta.
Perhatian tanpa mengharap kompensasi apa pun dari mereka.
Sudahi saja segala perselisihan kita.
Jernihkan hati dan pikiran, mari kita bangun Jakarta yang damai dan penuh
cinta.
Wassalam.
dimuat di hipwee
source pic : pixabay
No comments:
Post a Comment